PDM Kota Langsa - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Langsa
.: Home > Artikel

Homepage

KYAI SUPRAPTO DAN PUTM: TUJUH FALSAFAH AJARAN KH SUPRAPTO IBNU JURAIMI

.: Home > Artikel > PDM
17 Oktober 2018 14:15 WIB
Dibaca: 980
Penulis : Asrul Jamaluddin

Image result for K.H. Suprapto Ibnu Juraimi  Image result for K.H. Suprapto Ibnu Juraimi

 

K.H. Suprapto Ibnu Juraimi, biasa juga dipanggil Ustadz Prapto atau Ustadz Ibnu Juraimi, adalah mudir ke-2 (1990-1993) dan ke-4 (2003-2009) Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Beliau juga adalah alumni angkatan 1 (1968-1970) pada lembaga tersebut, dibawah asuhan KH. Umar Afandi (selaku mudir) dan KHR. Hadjid. Kedua sosok tersebut begitu berkesan dan berpengaruh dalam kehidupan beliau, termasuk dalam membimbing murid-muridnya.
 
Berangkat dari keprihatinan KH. Umar Afandi (salah satu anggota Majelis Tarjih PPM) atas kelangkaan ulama dikalangan Muhammadiyah saat itu, yang kemudian didukung oleh tokoh-tokoh lainnya seperti KHR. Hadjid, Kyai Baqir Shaleh, Kyai Wardan Diponingrat, Majelis Tarjih yang diketuai oleh KH. RM. Wardan Diponingrat, mendirikan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 dengan menunjuk KH. Umar Afandi sebagai mudirnya. Dengan demikian, pada tahun 1968, Muhammadiyah secara resmi mendirikan lembaga kaderisasi ulama yang diberi nama “Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM)” di bawah kepemimpinan KH. AR. Fakhruddin yang melanjutkan kepememimpinan KH. Faqih Usman. 
 
Sebagai alumni PUTM angkatan pertama, sekaligus sebagai murid dari KHR. Hadjid (murid termuda KHA. Dahlan), Ustadz Ibnu Juraimi memiliki celupan yang kuat terhadap murid-muridnya. Selain mewariskan ilmu, beliau juga mewariskan petuah-petuah yang sangat berguna bagi kami dan para mujahid lainnya. Semoga amal baiknya menjadi jariyah tak terhingga. Amin.
 
Berikut ini kami tuliskan Tujuh Falsafah Ajaran KH S. Ibnu Juraimi yang telah kami peroleh selama menimba ilmu di hadapan beliau. 
 
 
Pertama, paksakan dirimu walaupun hatimu belum mau.
 
Kalimat ini termasuk petuah-petuah awal yang kami terima pada masa percobaan di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah di bawah asuhan KH S. Ibnu Juraimi.  Menurutnya, kebaikan harus dipaksakan melalui riyādhah (pembiasaan) berupa pemaksaan terhadap anggota badan. 
 
Menurutnya, tidak mengapa bila melaksanakan kebaikan dengan terpaksa di awal. Kami yang tidak terbiasa puasa Senin-Kamis, tahajud, dzikir, dan duduk sila berjam-jam harus memaksa kan diri untuk melakukan semua itu. Begitu pula, kami yang terbiasa bersantai ria harus memaksakan diri hidup dengan rutinitas sesuai arahan beliau, dalam waktu yang sangat lama (empat tahun). 
 
KH S. Ibnu Juraimi memang menggunakan metode pemaksaan terutama di awal-awal pendidikan. Sikap beliau saat mengajar sangat jauh berbeda dengan sikap beliau di luar ruang kelas. Saat mengajar, beliau begitu keras, bersuara tinggi, dan sesekali memarahi. Namun, pada saat di luar kelas, Ustadz Ibnu Juraimi begitu lembut dan santun. Kami para muridnya, terkadang sulit menyesuaikan diri dengan dua kepribadian beliau yang tadhad tersebut.  
 
 
Kedua, kekuatanmu ada pada tahajudmu.
 
Kyai Suprapto adalah orang yang sangat mencintai tahajud. Di masa sakitnya sekalipun, beliau tidak meninggalkan ibadah tersebut. Setiap ada acara-acara persyarikatan yang melibatkan beliau, pastilah pak Kyai tidak lupa menggerakkan peserta untuk melaksanakan tahajud. Bacaan al-Quran beliau sangat khas, sekali saja menjadi makmumnya pasti membawa kesan dalam masa yang panjang. 
 
Mengenai pentingnya tahajud bagi para mujahid dakwah (menurutnya, istilah itu diperkenalkan oleh Amin Rais), tidak bisa lepas dari Qs. Al-Mudatsir.
Melalui kajian surat tersebut, pak Kyai menanamkan kepada kami para santrinya bahwa Janji Allah itu pasti.
 
Menurut surat Al-Mudatsir, ibadah tahajud mengantarkan pada kemuliaan (maqāman mahmūda), memberi pengaruh pada perilaku (asyaddu wath'an), memberikan sibghah (bobot) pada ucapan (aqwamu qīlan). Menurutnya, para mujahid dakwah sangat memerlukan ketiga hal tersebut. Karena itu, berulang kali beliau mengingatkan agar membekali diri dengan tahajud sebelum tampil ke gelanggang perjuangan. 
 
 
Ketiga, pakai kopiahmu sembari jagalah pandanganmu.
 
Kopiah adalah identitas kethalabahan (thalabah; sebutan bagi peserta Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) sekaligus simbol muru'ah, dan pelengkap rasa malu. Sebagai murid, kami tahu betul betapa Pak Kyai ingin menjaga kami dari pergaulan yang salah. Perpaduan antara kopiah di kepala dan kebiasaan menundukkan pandangan adalah benteng pertahanan kepribadian.
 
Menurutnya, cobaan terbesar bagi para pemuda adalah syahwatnya. Karena itu, Pak Kyai selalu mewanti-wanti agar menundukkan pandangan dimana saja kami berada. Jangan mudah tergoda dengan si bainol (perempuan cantik), jangan jelalatan, kata beliau. Seolah Pak Kyai ingin mengatakan bahwa kebersihan hati melahirkan ketajaman mata batin (firasat).
 
Setelah berpisah dengan beliau sembilan tahun lamanya, barulah kami mulai menyadari betapa penting kekuatan firasat dalam mengarungi medan dakwah yang penuh godaan dan tantangan. 
 
Soal pengaruh syahwat bagi para pemuda, Pak Kyai selalu membawa pikiran kami pada peristiwa yang dialami oleh Nabiyullah Yususf as. Selevel Yusuf saja hampir takluk saat berhadapan dengan Zulaikha. Untung saja, Allah berkenan mengirimkan burhan kepadanya sehingga mampu berpaling dari kebinasaan.
 
 
Keempat, al-Qur'an tidak cukup dilagukan, dihafalkan, dan diseminarkan.
 
Pak Kyai termasuk ulama yang tidak meninggalkan karya tulis. Kami pun para santrinya tidak pernah menanyakan hal tersebut. Walau demikian, Pak Kyai mempunyai tulisan ringan tentang bagaimana memperlakukan al-Quran. Tulisan itu satu-satunya karya beliau yang kami ketahui. Melalui karya kecil itu, tergambar bagaimana perasaan beliau kepada al-Quran. 
 
Menurutnya, kekuatan al-Quran terletak pada namanya yang menandakan bahwa ia adalah kitab yang harus dibaca dengan mentadabburinya. Al-Quran harus diamalkan dan diperjuangkan. 
 
Pak Kyai sering mengutip ungkapan Ibn Taimiyah, "Siapa yang tidak membaca al-Quran, sungguh ia telah meninggalkan al-Quran.  Siapa yang membaca al-Quran tetapi tidak memahami kandungannya, sungguh ia telah meninggalkan al-Quran. Siapa yang membaca al-Quran, memahami isinya, tetapi tidak mengamalkannya, sungguh ia telah meninggalkan al-Quran”.
Namun, bagi KH S. Ibnu Juraimi, mengamalkan saja tidak cukup, al-Quran harus diperjuangkan.
 
Karena itu, beliau melanjutkan ungkapan Ibn Taimiyah tersebut, “Siapa yang membaca al-Quran, memahami kandungannya, mengamalkan al-Quran tapi tidak memperjuangkannya, sungguh ia telah meninggalkan al-Quran". Demikianlah, betapa tinggi rasa beliau terhadap al-Quran.
 
 
Kelima, orang terdekatmu adalah isterimu.
 
Pak Kyai selalu mengatakan kepada kami, “Isteri adalah orang yang mengetahui persis tentang suaminya, dari gaya hingga modelnya". Karenanya, kehormatan suami ada pada isterinya. Seolah pak Kyai ingin mengatakan kepada murid-muridnya, bahwa perjuangan dalam mengemban amanah ditopang oleh keberadaan sosok isteri. 
 
Seingat kami, Pak Kyai tidak pernah menceritakan liku-liku perjuangan yang beliau hadapi di tengah-tengah umat. Akan tetapi, sekali waktu kami mendengar Bu Nyai bercerita tentang suka duka yang mereka alami di gelanggang perjuangan. Dari cerita itu kami menyadari betapa isteri punya peran penting bagi ketegaran para mujahid. 
 
Pak Kyai amat sering mengungkit kisah Umar ra. "Bersikaplah pada isterimu layaknya Umar ra bersikap pada isterinya.  Sosok Umar yang tampak perkasa di hadapan siapa pun, ternyata hanya diam mendengarkan saat isterinya marah. Bahkan, andai kamu mampu, siapkan makanan untuk isterimu dan pakaikan pakaian untuknya". 
 
 
Keenam, jangan ghibah.
 
Terhadap ghibah, Pak Kyai betul-betul mengingatkan agar kami menjauhinya. Hampir di setiap keadaan, entah dengan mimik serius maupun sambil guyon (bercanda), kami diingatkan agar tidak melakukan ghibah (Jawa; ngrasani).
 
Menurutnya, ghibah erat kaitannya dengan kehormatan sesama muslim. Pak Kyai sangat menjunjung tinggi kehormatan setiap muslim. Sering beliau mengutip sabda Nabi saw, “Siapa yang menutupi aib saudaranya (muslim), Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat”. 
 
Nasehat-nasehat beliau begitu membekas di hati kami saat itu, hingga kemudian memberi pengaruh yang begitu kuat saat kami telah selesai dari pendidikan. 
 
 
Ketujuh, buatlah pondok.
 
Pada akhir-akhir masa pendidikan, Pak Kyai sering menyampaikan bahwa, “kamu (kalian) tidak cukup ada di Majelis Tarjih, rapat sana rapat sini, sidang ini, sidang itu, kamu harus buat pondok”. 
 
Sebagai alumni pendidikan Tarjih, hal itu cukup mengganggu pikiran kami saat itu, alumni Tarjih tetapi diberi pesan untuk membuat pondok (pesantren). Nampaknya, pesan beliau tersebut bukan tanpa alasan. KH S. Ibnu Juraimi adalah sosok tokoh Persyarikatan yang begitu besar perhatiannya terhadap kaderisasi Muhammadiyah di satu sisi, dan perhatiannya kepada kaum muslimin yang begitu kokoh. 
 
Beliau, di banyak kesempatan, selalu mengutarakan pertanyaan kepada para pimpinan Persyarikatan dan pimpinan AUM, “Dari sekian banyak sarjana yang diluluskan Muhammadiyah setiap tahun, berapa yang berkiprah untuk Persyarikatan?”  
Karena keprihatinan itulah, hingga akhir hayatnya, beliau ingin agar PUTM tetap menjadi lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang mandiri (tidak bercampur dengan kegiatan Universitas). Hal itu sering beliau ungkapkan dengan istilah "PUTM is PUTM". 
 
Sedangkan terhadap kaum muslimin, KH S.Ibnu Juraimi betul-betul menginginkan tegaknya izzah kaum muslimin.
 
Pak Kyai sering mengutip potongan riwayat (dhaif) dari Khuzaifah dalam kitab Al-Mustadrak karya Imam Hakim, “Barangsiapa yang tidak memperhatikan (abai) urusan kaum muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka”. Bahkan sedemikian pesar perhatiannya terhadap persoalan itu, sampai-sampai kalimat tersebut ia pasang di ruang tamunya. Setiap orang yang datang ke rumah beliau, diduga keras akan membaca kalimat tersebut. 
 
Sehingga harapan KH S. Ibnu Juraimi sesungguhnya adalah bahwa Pondok Pesantren merupakan sarana yang paling baik untuk meraih dua hal di atas: penguatan internal Persyarikatan dan perhatian (simpati-empati) terhadap urusan kaum muslimin.
Pesan KH S. Ibnu Juraimi begitu jelas bagi kami dan kita semua bahwa pesantren harus melahirkan mujahid-mujahid yang siap menegakkan dan membela kalimah Allah sehingga terwujud izzatul Islam wal muslimin.
 
 
Asrul Jamaluddin, M.Hum.
Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
 
 
 
 
 

 


Tags: K.H.SupraptoIbnuJuraimi , TujuhFalsafahAjaran , PendidikanUlamaTarjihMuhammadiyah , PUTM

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website